Kesusastraan Indonesia artinya semua hal yang meliputi sastra Indonesia. Sejak lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern selalu berkembang. Dengan demikian, hal ini membuat adanya persambungan sejarah sastra Indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang, yang merupakan sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis oleh M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam Jong Sumatra No.4, Tahun III, April 1920. sebuah karya sastra itu sesungguhnya merupakan response terhadap karya sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan atau penyambutan yang bersifat penerusan konvensi maupun penyimpangan konvensi yang telah ada.
Seorang penyair menulis puisi berdasarkan konvensi-konvensi puisi sebelumnya, tetapi sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada ataupun norma puisi sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11).
Demikian juga karya sastra itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1983:4,11). Dipandang dari hal tersebut itu, sajak Muhammad Yamin merupakan response terhadap sajak-sajak yang telah ada, baik berupa penentangan ataupun penyimpangan terhadap norma-norma karya sastra sebelumnya.
Sebelum Muhammad Yamin menulis sajak “Tanah Air” itu, di Indonesia sudah ada Sastra Melayu Lama. Adanya respon Muhammad Yamin tentang penyimpangan norma-norma yang tradisional atau konvensional yang pada akhirnya membuat Muhammad Yamin membentuk kelompok penyair sezaman atau seperiode dan pada akhirnya membentuk sebuah angkatan sastra atau periode sastra yang kemudian terkenal dengan periode Angakatan Pujangga Baru (1933-1942).
Sejarah Singkat Lahirnya Periode Sastra Angkatan Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
(+) Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
(+) Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
(+) Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Pada mulanya, Pujangga Baru adalah sebuah nama majalah sastra yang diterbitkan para penulis yang ingin bebas untuk menulis tentang kehidupan nyata di Indonesia. Hal ini karena tulisan yang dimuat penerbit Balai Pustaka dibatasi dan ada unsur mendiskreditkan rakyat Indonesia.
Para pelopor majalah pujangga baru antara lain Sutan Takdir Alisyahbana dan Amrijn Pane pada tahun 1933 dengan mengobarkan semangat kebangsaan dan budaya. Angkatan pujangga baru dengan puisi genre modern dan penempatan baris dan bait bebas tanpa terikat aturan puisi lama.
Setelah adanya majalah pujangga baru, maka semakin banyak para penyair mulai bermunculan dan mengirimkan tulisannya agar bisa diterbitkan di majalah tersebut. Selain itu mulai tumbuh kesadaran dalam masyarakat untuk bersikap nasionalisme dan bersatu padu memerangi penjajah.
Dengan banyaknya para sastrawan baru yang muncul membuat pengasuh majalah pujangga baru kewalahan dan membagi sastrawan 2 kelompok. Kelompok pertama bernama ‘’Seni Untuk Seni’’ diasuh oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah dan menjadi wadah bagi seniman Indonesia.
Sedangkan kelompok kedua bernama ‘’Seni Untuk Pembangunan Masyarakat’’ yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amrijn Pane dan Rustam Effendi. Majalah Pujangga Baru bisa dikatakan sebagai induk berkembangnya sastra masa penjajahan dan mengobarkan kemerdekaan.
Dari pujangga baru terbit buku pengetahuan tentang sejarah asli bangsa Indonesia seperti penyair zaman kerajaan mataram kuno dan sejarah kerajaan lainnya. Ada juga buku sejarah R.A
Kartini dan menerjemahkan surat-surat Kartini yang dikirim kepada teman-temannya diluar negeri.
Pujangga baru menjadi pelopor berkembangnya karya tulisan yang singkat seperti puisi, cerpen, esai dan karya seni yang tidak tergantung pada buku. Tema tulisan juga bebas dan tidak memiliki batasan namun menggunakan bahasa penulisan yang berkualitas dan mudah dipahami pembaca.
Pada tahun 1942 ketika Jepang menguasai negeri ini, pujangga baru dilarang terbit. Jepang menguasai semua media massa seperti koran, radio dan kantor pos sehingga semakin mempersempit gerak dari penyair. Hal ini membuat koran dan majalah bisa terbit secara rahasia.
Walaupun dilarang terbit, namun para sastrawan tetap berusaha untuk produktif dan menerbitkan tulisan agar bisa dibaca rakyat. Hal ini kemudian muncul para sastrawan angkatan 45 yang tetap berjuang untuk membuat tulisan meskipun pemerintah Jepang yang ketat melakukan operasi.
Kita patut berterima kasih kepada para pelopor majalah pujangga baru. Karena mereka telah menggunakan bahasa Indonesia di media massa untuk melaksanakan amanat sumpah pemuda 1928. Hal ini membuat rakyat pribumi makin akrab dengan bahasa persatuan tanah air sendiri.
Pujangga baru juga mempelopori terbentuknya drama dan teater yang bisa berkembang sampai saat ini. Yang lebih penting lagi adalah tulisan esai yang mengedepankan sebuah tulisan yang berisi pikiran, saran dan sudut pandang dari penulis sehingga mendorong pembaca untuk kreatif.
Jika ada hal yang kurang dipahami atau dirasa keliru dan membuat kegundahan dalam hati, silahkan tuliskan keresahan Sobat Tweeters dikolom komentar, Terima Kasih.
Tulisan Ini disusun oleh Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra, Dosen Pengampu Ahmad Supena, S.Pd., M.A.
Sejarah yang Melatarbelakangi Lahirnya Periode Sastra Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan
Tentang Penulis
Hidup adalah untaian makna dari kata yang ditulis semesta