Tweetilmu.web.id - Sebagai sebuah istilah, Gerakan Literasi Masyarakat terbilang baru. Istilah ini hampir bersamaan dengan munculnya Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, Gerakan Literasi Masyarakat, yang mengerucut ke dalam “rumah besar” yaitu Gerakan Literasi Nasional (GLN) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 045/P/2017 tentang Kelompok Kerja Gerakan Literasi Nasional.
Tiga ranah ini merupakan implementasi semangat “Tripusat” tentang pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Namun dari sisi perkembangannya di masyarakat, dan jika meluaskan makna “gerakan” maka GLM sudah berjalan lama seiring dengan bertumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap literasi, terutama dilihat dari konsep literasi baca-tulis.
Di dalam perjalanannya, terutama yang berkaitan dengan Gerakan Literasi Masyarakat, ada banyak pengistilahan yang dipakai, mulai dari Komunitas Literasi, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Rumah Baca, Pustaka Bergerak, dan lain sebagainya.
Pengistilahan yang beragam itu jika dilihat dari sisi postif, itu artinya tumbuhnya kepedulian dari masyarakat untuk membentuk dan menggagas secara komunal yang berkaitan dengan penumbuhan minat baca.
Namun dari sisi historis dan penyebarannya, Taman Bacaan Masyarakat lebih familiar dan dikenal publik, terutama jika merujuk pada Undang-undang No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, “Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca."
Baca Juga:
Pengembangan budaya baca mulai direformulasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada sekitar tahun 2008 dengan didirikannya Sub-Direktorat Budaya Baca di bawah Direktorat Pendidikan Masyarakat. Fungsi dari Subdit Budaya Baca salah satunya adalah membina Taman Bacaan Masyarakat yang sempat tidak terlalu banyak diurus lagi oleh Pemerintah.
Kehadiran subdirektorat ini awalnya membawa angin segar bagi para pengelola TBM di Indonesia. Pembinaan yang dilakukan tidak hanya memberi stimulan berupa bantuan bagi lembaga TBM tetapi ikut melakukan pemberdayaan bagi para pengelolanya.
Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama. Perubahan SOTK yang awalnya subdirektorat turun menjadi seleval “seksi”. Walaupun demikian, beberapa terobosan seperti “Gerakan Indonesia Membaca” pada tahun 2015 yang di dalamnya terdapat program “Kampung Literasi” cukup menjadi daya tarik dalam pengembangan budaya baca di Indonesia dan masih bertahan hingga kini.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa literasi menjadi tren baik di kalangan pemerintah, institusi formal hingga komunitas? Bagi Indonesia yang hingga kini masih dilabeli sebagai negara berkembang, urusan literasi (dengan definisi yang lebih general) belumlah usai. Indonesia masih dibayang-bayangi oleh kemampuan literasi yang rendah, walaupun banyak yang menyangsikan temuan ini.
Menurut data Unesco, pada tahun 2012, minat membaca masyarakat Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang mau membaca dengan serius. Pada pemeringkatan ;ainnya, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti.
Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah Negara miskin di kawasan selatan Afrika. Aspek yang diuji antara lain perpustakaan, Koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Semangat untuk urusan akses media internet, Indonesia justru masuk dalam peringkat ke-6 besar sebagai pengguna internet terbesar setelah Cina, Amerika serikat, India, Brazil dan Jepang. 2 Problematika yang dilematis seperti inilah yang sekarang ini terjadi di Indonesia.
Jika lebih dari 83,7 juta masyarakat Indonesia mengakses internet pada tahun 2014, dan menurut perkiraan e-Marketer pada tahun 2017 meningkat mencapai 112 juta orang dan diprediksi mengalahkan Jepang.
Pertanyaannya digunakan untuk apakah masyarakat Indonesia ketika mengakses internet? Jawabannya media sosial. Masyarakat Indonesia menempati rangking ke-2 di dunia setelah Amerika serikat. Fenomena anomali ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang lebih strategis.
Dalam konsep budaya membaca, setidaknya ada tiga pengelompokkan yaitu iliterat, aliterat dan literat. Iliterat adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengenal dunia baca-tulis. Aliterat adalah masyarakat yang sudah terbebas dari buta aksara. Mereka bisa membaca dan menulis tetapi tidak menjadi bagian dari kebudayaannya.
Sementara kelompok yang ketiga adalah masyarakat literat yaitu masyarakat yang sudah menjadikan membaca dan menulis terfungsikan dan menjadikannya sebagai sebuah kebudayaan. Jika melihat pengelompokkan tersebut, masyarakat Indonesia, kendati masuk dalam peringkat ke-2 di dunia yang menggunakan Facebook, masih dianggap menjadi bagian masyarakat yang aliterat karena secara konsep dan karakteristiknya, pengguna media sosial hanya memakai tulisan sebagai alat komunikasi lisan.
Artinya kendati memakai sarana “letters” tetapi penggunaannya lebih cenderung untuk “lisan”. Dengan demikian, korelasi antara pengguna media sosial dengan budaya baca dianggap tidak terlalu relevan.
Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kehadiran dari para pegiat literasi yang mendirikan komunitas literasi seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Kegiatan literasi yang telah dilakukan oleh pelbagai pihak tersebut bahkan mendapatkan apresiasi dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dengan mengundang pegiat literasi dan pengelola TBM ke istana Presiden yang jatuh bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan nasional tanggal 2 Mei 2017.
Di dalam sejarah perkembangan literasi di Indonesia, baru kali ini seorang Presiden mengapresiasi langsung kerja-kerja literer yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Dengan demikian, entitas para pegiat literasi yang hadir di masyarakat sudah mulai diperhatikan. Salah satu hasil dari pertemuan antara pegiat literasi dengan Presiden adalah difasilitasinya pengiriman buku-buku gratis ke komunias literasi pelosok negeri melalui PT Pos yang anggarannya dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
TBM yang diselenggarakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat bertujuan untuk memberi kemudahan akses kepada warga masyarakat untuk memperoleh bahan bacaan.
Di samping itu, TBM berperan dalam meningkatkan minat baca, menumbuhkan budaya baca dan cinta buku bagi warga belajar dan masyarakat. Secara khusus TBM dimaksudkan untuk mendukung gerakan pemberantasan buta aksara yang antara lain karena kurangnya sarana yang memungkinkan para aksarawan baru dapat memelihara dan meningkatkan kemampuan baca tulisnya.
TBM juga ditujukan untuk memperluas akses dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat mendapatkan layanan pendidikan (Depdiknas, 2008).
TBM memiliki fungsi sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat, sarana hiburan dan pemanfaatan waktu secara efektif dengan memanfaatkan bahan-bahan bacaan dan sumber informasi lain, sehingga warga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan informasi baru guna meningkatkan pengetahuan mereka, sarana informasi berupa buku dan bahan bacaan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar dan masyarakat.
Baca Juga: Pengaruh Pendidikan Karakter terhadap Pembentukan Kepribadian Peserta Didik
Direktorat Pendidikan Masyarakat (2009) menyatakan bahwa Taman Bacaan masyarakat adalah sebuah wadah/tempat yang didirikan atau dikelola baik masyarakat maupun pemerintah yang berfungsi sebagai sumber belajar untuk memberikan akses layanan bahan bacaan yang sesuai dan berguna bagi masyarakat sekitar.
Kelompok masyarakat tersebut perlu terus dibina dan dikembangkan kearah terbentuknya masyarakat informasi atau masyarakat yang cerdas.
Mengingat pentingnya perpustakaan umum sebagai perpustakaan masyarakat umum, sehingga UNESCO (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization), yaitu badan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan) menyatakan “perpustakaan umum sebagai media kehidupan bangsa.”
Di sisi lain, problematika TBM sebagai lembaga atau hanya sekadar program (merujuk Permendikbud 81 tahun 2013) masih menjadi dilema tersendiri.
Di beberapa tempat, Pemerintah Daerah tidak bersedia mengeluarkan Surat Izin Operasional dikarenakan belum adanya acuan regulasi terkait dengan TBM.
Di dalam Permendikbud tersebut, TBM masih dianggap sebagai program yang menjadi pelengkap di Satuan Pendidikan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sementara di masyarakat, banyak TBM lahir secara independen dan juga menjadi learning society. Kendati demikian, TBM tetap bertahan hingga kini.
Berdasarkan tabel sebaran yang dilansir pada tahun 2013 di atas oleh Kemdikbud, membuktikan bahwa TBM lebih banyak menyebar di pulau Jawa. Sementara sebaran di provinsi lain masih belum merata. Pada tahun 2019 ini, berdasarkan pendataan yang dilakukan secara partisipatif melalui www.donasibuku.kemdikbud.go.id didapatkan jumlah TBM/ Komunitas Literasi sebanyak 3722 lembaga.
Dengan perkembangan gerakan literasi di masa sekarang, Pemerintah perlu melakukan pendataan ulang mengingat mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk membuat TBM. Di sisi lain, peran pemerintah perlu mengoptimalkan para pegiat literasi dari sisi kapasitas dalam mengelola TBM/ komunitas literasi agar bisa lebih berkembang dari sisi keilmuan dan memahami paradigma terbaru terkait dengan Gerakan Literasi Nasional.