Latar Belakang
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris.
Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Karya-karya angkatan 45 yang kita baca dan ketahui pada saat sekarang ini bukanlah ada dengan sendirinya. Karya-karya tersebut merupakan hasil pemikiran dan imajinasi para sastrawan yang terdesak oleh tantangan zaman pada masa itu. Yaitu, masa penduduk Jepang dan masa revolusi di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terakhir menjajah sampai akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Para sastrawan yang ada pada masa ini selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan
setelah merdeka Indonesia memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi pemerintahan, sosial, budaya dan kenegaraan. Hal ini juga memberi dampak pada sastrawan dan hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45 memiliki konsepsi estetik tersendiri.
Sejarah Lahirnya Periodisasi Sastra Angkatan 1945
Angkatan 45 tidak dapat dilepaskan dari lingkungan kelahirannya, yakni masa penduduk Jepang dan masa revolusi Indonesia. Perjuangan bangsa yang mencapai titik puncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 beserta gejolak politik yang mengawali maupun mengikutinya, memberi pengaruh sangat besar pada corak sastra.
Generasi yang aktif pada masa revolusi 45 dipaksa oleh keadaan untuk merumuskan diri dan tampil menjawab tantangan-tantangan zaman yang mereka hadapi. Selain ikut berjuang secara fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan.
Latar belakang perubahan politik yang sangat mendadak pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi awal kelahiran karya sastra Angkatan 45. Kehadiran Angkatan 45 serta karya sastra Angkatan 45 meletakkan pondasi kokoh bagi sastra Indonesia, karena angkatan sebelumnya dinilai tidak memiliki jati diri ke-Indonesiaan. Jika Angkatan Balai Pustaka dinilai tunduk pada “Volkslectuur”, lembaga kesustraan kolonial Belanda, dan Angkatan Pujangga Baru dinilai menghianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke Barat, maka Angkatan 45 adalah reaksi penolakan terhadap ankatan-angkatan tersebut.
Pada tahun 1943, Jepang mendirikan sebuah Kantor Pusat Kebudayaan yaitu Keimin Bunka Shidoso. Lembaga atau organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya yang dikobarkan Jepang. Di dalam Kantor Pusat Kebudayaan tersebut terhmpunlah sejumlah seniman untuk membuat lagu-lagu, lukisan,slogan, sajak, sandiwara, dan film yang harus bisa membakar semangat perjuangan demi kepentingan Jepang yang menjanjikan masa depan gemilang bagi bangsa Indonesia.
Janji-janji lantang itu diwujudkan dalam berbagai tindakan drastis seperti penghapusan segala sistem yang berbau Belanda, termasuk penghapusan bahasa Belanda untuk diganti bahasa Jepang yang harus segera dipelajari orang.
Sebagai ilustrasi dan pengayaan, ada baiknya disimak kisah kenangan Rosihan Anwardalam ceramah di taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 Agustus 1973 yang kemudian dimuat oleh Budaja Jaya No. 65 Tahun ke-6 Oktober 1973 dengan judul “Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman Jepang 1943-1945.
Sepanjang pengalaman Rosihan Anwar, di Kantor Pusat Kebudayaan atau Keimin Bnka Shidoso berkumpullah para Sastrawan, dramawan, komponis, pelukis untk berkarya dan bertukar pikiran, saling mengejar dan saling menghajar, bermimpi dan bercita-cita dalam keremajaan yang gembira dan patah hati.
Keimin Bunka Shidoso terdapat beberapa bagian, seperti bagian Kesusastraan, bagian Seni Suara, bagian Seni Sandiwara, dan Bagian Seni Rupa. Bagian Kesusastraan pada waktu itu dipiminoleh Armijn Pane didampingi penasihaat atau Sidookan Jepang bernama Sakai.
Bagian Kesusastraan pada awal tahun 1943 ditugaskan umtuk memeriksa dan menimbang hasil sayembara mengarang cerpen yang diadakan Majalah Jawa Baru. Rosihan Anwar pun ikut dalam sayembara tersebut kareena ingin terampil berbahasa Indonesia, berhubung selama sekolah ia selalu berbahasa Belanda.
Rosihaan Anwaar menjadi pemenang Ketiga dalam Sayembara tersebut. Cerpen Rosihan Anwar itu berjudul “Radio Masyarakat” yang kemudian dimasukkan oleh H.B Jassin ke dalam antologi Gema Tanah Air. Tidak lama kemudian, cerpen tetrsebuut diterjemahkaan ke dalam bahasa Inggris oleh Jhon Echols dari universitas Cornell untuk menyusun antologi Kesusastraan Indonesia.
Sastrawan-sastrawan yang bekerja pada saat itu sudah barang tentu sering membuat sajak, cerpen dan lain-lain tas pesanan dari dan untuk keperluan Balatentara Dai Nippon. Kalau perlu mengajukan rakyat menanam pohon jarak atau kapas, maka bersajaklah mereka. Kalau semboyan semboyan pada waktu itu seperti Kemakmuan Bersama, Asia Untuk Bangsa Asia, Hakko Ichiu, dsb. harus disebarluaskan dalam bentuk karangan.
Tetapi disamping itu mereka yang membuat sajak atau cerpen dll meurut selera dan keinginan masing-masing yang tidak selalu guna disiarkan, tetapi disimpan dalam map belaka.
Pada suatu malam diadakan acara pembacaan sajak atau deklamasi yang dilanjutkan diskusi di Kantor Pusat Kebudayaan. Setelah Rosihan Anwar mendeklamasikan sajak Amir Hamzah yang berjudul “Astana Rela” tiba-tiba datang seorang pemuda berbaju lusuh dan rambut berjabritan tidak tersisir dengan lantang mengatakan sajak Amir sudah ketinggalan zaman.
Pemuda itupun menegaskan bahwa sebuah sajak harus mengandung vitalitas, dan vitalitasme harus diterapkan dalam seni. Tiap seniman harus seorang perintis jalan yang dengan penuh keberanian dan tenaga hidup memasuki hutan rimba penuh binatang buas atau mengarungi lautan lebar tak bertepi. Senian adalah tanda kehidupan yang melepas bebas. Dan pada saat itulah, pemuda berbaju lusuh diketahui bernama Chairil Anwar. Tanpa diminta pemuda tersebut membacakan sajaknya sendiri yang berjudul “AKU”.
Pada awalnya, Rosihan Anwar mengaku tidak menaruh perhatian. Akan tetapi sadarlah bahwa malam ketika Chairil Anwar membacakan sajaknya “Aku ini binatang jalang”, sesaat setelah mengecam Amir Hamzah, pada hakikatnya adalah suatu malam yang bersejarah bagi kesusastraan Indonesia.
Pada akhirnya Armijn Pane, Rosihan Anwar, Nur Sutan Iskandar,dll mereka sadar bahwa janji yang diberikan Jepang hanyalah tipuan belaka.
Kemudian Rosihan Anwar memberikan nama untuk angkatan Chairil Anwar ini dengan sebutan Angkatan 45 dan dimuat dalam majalah “Siasat” pada 22 Oktober 1950.
Sebagai salah satu hasil dari pergolakan, karya sastra Angkatan 45 menjadi sebuah karya yang lahir dengan identitas baru yang penuh kontroversia. Kehadirannya sebagai pendobrak nilai-nilai serta aturan-aturan sastra terdahulu membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi pusat perhatian para sastrawan.
Para sastrawan penggerak karya sastra angkatan 45 adalah mereka yang menaruh perhatian besar pada karya sastra Indonesia. Mereka seolah ingin lepas dari pengaruh asing yang saat itu masih kuat pengaruhnya terhadap karya sastra Indonesia.
Nama angkatan 45 sendiri dimunculkan oleh Rosihan Anwar pertama kali pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra periode-40-an.
Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’I Apin dan Baharudin. Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangun).
Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan, siasat yang muncul pertama kali pada Februari 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida Nasution. Disuplemen inilah mereka kemudian menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”.