Perkembangan sastra di Tanah Air telah melewati beberapa fase, tercatat 10 atau bahkan lebih periodisasi yang telah berganti menyesuaikan zaman, dan setiap periodisasi memiliki karakteristik tersendiri dan hal itulah yang membuat khas setiap periodenya, selain itu juga perubahan realitas sosial serta pengaruh politik di suatu negeri juga mempengaruhi periodisasi sastra tersebut.
Dan dalam pembahasan kali ini admin akan share sebuah makalah yang telah disusun beberapa bulan lalu mengenai periodisasi sastra angkatan 1970 mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk menambah referensi dan memantik kerangka berpikir kalian.
Latar Belakang
Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris, dengan pengertian dasar itu, dapat dilihat bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa.
Dalam sejarah sastra Indonesia periodisasi dibagi sebagai berikut : angkatan balai pustaka, angkatan pujangga baru, angkatan ’45, angkatan 50-an, angkatan 60-an, angkatan kontemporer (70-an sampai sekarang). Dalam makalah ini kami akan membahas tentang angkatan 70-an. Di dalam angkatan70-an mulai bergesernya sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi, prosa maupun drama.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda. Menurut Dami angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri. Dalam angkatan 70-an mulai bergesernya sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi , prosa maupun drama.
Pengarang yang dapat dikelompokan ke dalam akangkatan 70 adalah: Iwan Simatupang, W. S. Rendra, Sutarji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dan lain-lain. Pengarang yang disebut sebagai Angkatan 70 ini ada yang sudah tergolongkan juga pada masa-masa sebelumnya. Hal inilah yang menandakan bahwa karya mereka terus berkembang. Pada masa 70 –an para penulis menggunakan media buku , majalah , maupun koran untuk mempublikasikannya.
Sejarah Munculnya Periode Sastra Angkatan 1970
Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru, baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30 S/PKI. Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas berupa kemungkinan bentuk baik prosa, puisi drama semakin tidak jelas. Siapa saja yang memberi nama dan berdasarkan peristiwa apaYang memberi nama angkatan 70-an yaitu Hadi W.M, dan Darui N . Toda.
Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun 1970-an dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan Rampan cenderung menamai Sastra Indonesia sesudah angkatan ‘45 dengan nama angkatan ‘80. Perbedaan esensial antara kedua versi tersebut hanyalah pemberian nama saja, karena keduanya memiliki persamaan, yaitu:
- Keduanya tidak mengakui adanya angkatan ‘66 yang dicetuskan oleh HB. Jassin.
- Keduanya meyakini adanya pergeseran wawasan estetik sesudah angkatan ’45.
- Keduanya memiliki persamaan pandangan tentang tokoh-tokoh pembaruan Sastra Indonesia.
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma, memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd.
Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja.
Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas).
Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain.
Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan.
Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi.
Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya.
Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.
Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak.
Dalam bidang drama mereka mulia menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro.
Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain : wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk menjadikannya sebagai titik tolak dalam menghasilkan karya sastra modern.
Konsepsi improvisasi dalam karya sastra dipahami oleh Putu Wijaya. Ia mengatakan bahwa sebuah novel hanyalah cerita pendek yang disambung, sehingga yang muncul di dalam penulisan suatu karya sastra adalah faktor ketiba-tibaan.
Sebuah novel, drama, atau cerita pendek ditulis dengan tiba-tiba karena pada saat menulis berbagai ide yang datang dimasukkan ke dalam ide pokok. Unsur tiba-tiba seperti ini yang disebut dengan uncur improvisasi.
Perkembangan sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karena banyak penerbitan yang muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Sutardji menampilkan corak baru dalam kesusastraan Indonesia di bidang puisi.
Alasan tersebut menyebabkaan Sutardji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra Indonesia. Pada tahun 1979 Sutardji menerima hadiah sastra dari ASEAN.
Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya cenderung membebaskan kata dalam membangkitkan kembali wawasan estetik mantra, yakni wawasan estetik yang sangat menekankan pada magic kata-kata, serta melahirkannya dalam wujud improvisasi.
Hal itu nyata bila diperhatikan sikap puisinya berjudul Kredo Puisi yang ditulis di Bandung tanggal 30 Maret 1973 dan dimuat di majalah Horison bulan Desember 1974.
Angkatan 40 istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an Dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyayian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachri, dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Ciri-ciri Karya Satra Angkatan 1970
Penuh semangat eksperimentasi dalam berekspresi, merekam kehidupan masyarakat yang penuh keberagaman pemikiran dan penghayatan modernitas. Muncul para pembaharu sastra Indonesia dengan karya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutarji Calzoum Bachri dan Yudhistira Ardi Noegraha dalam puisi, Iwan Simatupang dan Danarto dalam prosa fiksi, Arifin C. Noer dan Putu Wijaya dalam teater.