Keragaman berbahasa merupakan dampak dari keragaman sosial dalam masyarakat. Keragaman dalam masyarakat dapat terbentuk oleh berbagai faktor, misalnya keragaman etnis, kelas sosial, budaya, jenis kelamin, usia, dan lain-lain. Keragaman yang terjadi dalam masyarakat dapat terjadi secara alamiah maupun karena sengaja diciptakan manusia.
Keragaman yang terjadi secara alamiah, misalnya keragaman karena perbedaan usia, keragaman karena warna kulit, maupun keragaman karena perbedaan jenis kelamin. Keragaman yang diciptakan oleh manusia misalnya, keragamaan kerena perbedaan status sosial, keragaman karena perbedaan budaya, keragaman karena perbedaan agama, dan perbedaan karena pemilihan tempat tinggal.
Keragaman berbahasa dapat terjadi karena berbagai keragaman dalam masyarakat. Keragaman berdasarkan wilayah geografis dapat menyebabkan keragaman bahasa yang disebut dialek. Keragaman berdasarkan kelas sosial di masyarakat dapat menyebakan keragaman berbahasa yang disebut sebagai sosiolek. Keragaman berbahasa juga dapat terjadi karena perbedaaan pada setiap individu pengguna bahasa yang disebut idiolek.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa keragaman berbahasa adalah keragaman yang terjadi pada bahasa yang sejenis
Perbedaan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin juga dihadirkan oleh peneliti linguistik. Para peneliti linguistik memiliki perbedaan persepsi dalam memilih narasumber.
Dalam melakukan penelitian di bidang linguitik, para peneliti melakukan berbagai pertimbangan dalam menentukan narasumbernya. Sebagian peneliti cenderung memilih penutur perempuan daripada penutur laki-laki, sebaliknya sebagian peneliti akan memilih penutur laki-laki dari pada penutur perempuan. Hal ini dilandasi dengan argumentasinya masing-masing, Wartburg (1925) dan Coates (1987) (dalam Sumarsono, 2014: 100) lebih memilih perempuan sebagai narasumber dari pada laki-laki, Wartburg mengungkapkan “sepanjang tentang bahasa, semua orang tahu bahwa wanita itu lebih fanatik menyimpan tutur warisan bahasa kita.”
Coates menyebutkan “wanita itu hampir tidak pernah meninggalkan desanya, tidak seperti pria, wanita tinggal di rumah dan mengobrol dengan sesama wanita yang lain, dan tidak bergaul dengan orang asing, wanita juga tidak mengikuti wajib militer.”
Di pihak lain, terdapat linguis yang lebih memilih laki-laki sebagai narasumber dari pada perempuan. Kurath (1939) (dalam Sumarsono, 2014: 98) mengungkapkan bahwa ia lebih memilih responden laki-laki dari pada perempuan karena dalam masyarakat barat, penutur wanita cenderung sadar diri dan sadar kelas dari pada penutur laki-laki. Orton (1962), juga berpendapat sama, ia mengatakan bahwa di negeri ini, laki-laki lebih banyak menggunakan bahasa asli dan taat asas, serta lebih rapi dari pada perempuan, dan hal ini bisa berlaku di mana saja.
Thomas dan Waraeing (2007: 110-111) menjelaskan tentang keragaman berbahasa berdasarkan jenis kelamin yang berdampak pada perlakuan terhadap manusia berdasarkan jenis kelamin.
Thomas dan Waraeing menjelaskan bahwa dalam bahasa Inggris. seorang pria akan menggunakan gelar “Mr” yang diletakan di depan nama keluarganya, kecuali ia punya gelar lain, seperti “Dr” atau Judge (hakim), sedangkan perempuan memiliki tiga pilihan, “Miss” jika belum menikah, “Mrs” jika sudah menikah dan “Ms” adalah netral. Tiga sapaan untuk perempuan ini akan memberikan banyak informasi sosial, pandangan politik, dan status perkawinan dari seorang perempuan. Dan hal ini tidak pernah dialami oleh laki-laki.
Berkaitan dengan berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat keragaman berbahasa dalam bahasa yang sama karena perbedaan jenis kelamin. Keragaman ini diciptakan untuk membedakan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini tentu dilatari oleh berbagai faktor.
Sumarsono (2014: 101-109), menjelaskan faktor yang menyebabkan terjadinya keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah adanya perbedaan gerak anggota badan dan ekspresi wajah saat berbahasa, suara dan intonasi, fonem sebagai segi pembeda, sejarah, teori tabu, system kekerabatan, konservatif dan inovatif, serta sikap sosial dan kejantanan.
Yule (2015: 417), menjelaskan faktor penyebab keragaman berbahasa kerena status sosial berdasarkan gender, sifat alamiah perempuan dan laki-laki, suara, dan pekerjaan.
Tannen (1990) dalam Scollon dan Scollon (1995: 9) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda memang sudah merupakan bawaan atau alami. Bahasa hanya alat yang digunakan untuk menyampaikan ide atau pikiran kepada lawan tutur.
Levine dan Adelman (1993: 69), mengemukakan bahwa perempuan Amerika secara tradisional mempunyai cara tak langsung (lebih sopan dan lembut) dibanding laki-laki dalam melakukan permohonan, menyampaikan kritik, dan menyampaikan pendapat. Namun, kalau membahas masalah yang berkenaan dengan emosi dan perasaan, perempuan lebih bersifat langsung.
Tannen (1991) dalam Scollon dan Scollon (1995: 232) memperhatikan suasana diskusi kelas dalam kuliah yang dipimpin seorang dosen. Hasil observasi menunjukkan bahwa dalam diskusi kelas, laki-laki sering mendominasi pembicaraan, sedangkan perempuan tidak begitu berpartisipasi.
Namun, ketika diskusi dalam kelompok yang lebih kecil, mahasiswa perempuan yang tidak biasa berbicara pun menjadi aktif berbicara.
Sejalan dengan itu, Holmes (1994: 164) menyatakan bahwa bentuk bahasa yang digunakan laki-laki dan perempuan berbeda dalam semua masyarakat tutur. Perempuan, misalnya, secara linguistik lebih sopan dari laki-laki. Bahasa pria dianggap lebih alami dibanding dengan bahasa perempuan. Karena itu, beberapa peneliti cenderung menggunakan pria sebagai sampel penelitian.
Multamia dan Basuki (1989) dalam Sumarsono dan Pranata (2002: 98) mengemukakan beberapa pendapat para ahli dialektologi tradisional tentang pengambilan sampel sebagai informan. Dalam tulisan, Kurath (1939: 43) berpendapat bahwa informan itu harus laki-laki karena lebih alami dalam berbahasa, sedangkan perempuan lebih sadar diri dan sadar kelas dalam berbicara.
Perempuan sering hiperkorek dan berusaha menggunakan bahasa baku (received pronunciation), sehingga bahasa mereka kurang menggambarkan yang diinginkan peneliti. Perempuan beranggapan bahwa penggunaan baku dapat mengangkat derajatnya yang selama ini dianggapsebagai warga negara kelas dua.
Umumnya laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan kekuasaan yang lebih besar dari perempuan. Namun, dalam berbahasa, perempuan lebih sering menggunakan bahasa standar dan laki-laki lebih sering menggunakan bahasa tidak standar (Coulmas, 2005).
Sejalan dengan itu, Eckert dan McConnel - Ginet (2003) mengemukakan bahwa walaupun umumnya perempuan berkedudukan lebih rendah dalam masyarakat, namun mereka menggunakan bahasa yang lebih standar dengan tujuan agar dihargai dan disegani oleh masyarakat, dan untuk menghindari gangguan atau tindakan semena-mena dari masyarakat.
Perempuan menggunakan bahasa standar dalam masyarakat terutama dalam kegiatan-kegiatan yang lebih formal, seperti interaksi di tempat kerja (Chamber, 1995). Wardaugh (1998: 316-7) menyatakan bahwa dalam percakapan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, banyak peneliti sependapat bahwa laki-laki lebih banya berbicara dibandingkan dengan perempuan.
Jika laki-laki berbicara dengan sesama laki-laki, pembicaraan terfokus kepada kompetisi, ejekan, olahraga, agresi, dan melakukan sesuatu. Sedangkan, jika perempuan berbicara sesama perempuan, pembicaraan berkisar tentang diri, perasaan, afiliasi dengan yang lain, rumah, dan keluarga.
Pembahasan tentang perempuan dan bahasanya atau masalah bahasa dan perempuan biasanya mengarah pada pemaparan perbedaan (cara) berbahasa antara perempuan dan laki-laki.
Di beberapa negara maju, seperti Prancis, Inggris, Amerika, Jepang, dan Jerman, pembahasan masalah itu sudah lama menjadi perhatian beberapa linguis dan telah dilakukan sejak tahun 1920-an. Misalnya, pada tahun 1922, Otto Jespersen menulis sebuah buku dengan judul Language: Its Nature, Development, and Origin. Dalam salah satu bab buku itu, Jespersen khusus membahas bahasa perempuan. Ia memberikan pendapatnya bahwa perempuan agak malu-malu jika menyebut bagian anggota tubuh mereka dengan cara terang-terangan, tidak seperti laki-laki (muda) yang lebih suka menyebutnya tanpa aling-aling.
Jespersen juga menyinggung bahwa bahasa yang digunakan oleh perempuan lebih kerap menggunakan kata sifat apabila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan laki-laki. Misalnya, perempuan sering menggunakan adorable, charming, sweet, atau lovely dibandingkan dengan kata yang netral, seperti great, terrific, cool, atau neat.
Penelitian yang memusatkan kajian pada hubungan antara bahasa dan gender dipelopori oleh Robin Tolmach Lakoff. Di dalam bukunya Language and Women’s Place (1975), ia mengemukakan teori tentang keberadaan bahasa perempuan.
Lakoff menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang mendasari munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Digambarkan bahwa bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan laki-laki suka berbicara terang-terangan dengan kosakata yang tepat.
Namun, bahasa yang digunakan oleh perempuan tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan), dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat (metapesan).
Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu masalah, ia akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul berakhir dengan tanda tanya (Lakoff, 2004; Kuntjara, 2004:3-4).
Dalam khazanah sosiolinguistik, pada umumnya pembahasan tentang perbedaan penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud pembicara (speakers meaning). Maksud pembicara sangat ditentukan oleh konteks, yaitu waktu, tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan sosial, ekonomi, politik, proses, keadaan, dan mitra tutur.
Maksud pembicara itu dapat disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau mengawini dia” atau “Saya akan menceraikan dia” dapat langsung ditentukan siapa yang diacu “saya” dan “dia”. “saya” dalam kalimat itu pasti laki-laki dan “dia” perempuan. Penentuan referen “saya” seorang laki-laki dan “dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang dapat dilekatkan dengan kata “mengawini” dan “menceraikan” adalah lelaki, sedangkan perempuan hanya dapat “dikawini” dan “diceraikan”.
Jika kita melihat konteks struktur bahasa, kalimat “Rina mengawini Herman” atau “Herman dicerai Rina” tidaklah salah, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Namun, bahasa bukan hanya masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah ektrinsik-konteks budaya. Oleh karena itu, kalimat “Herman mengawini Rina” atau “Rina diceraikan Herman” dianggap memenuhi kaidah struktur kalimat dan konteks budaya.
Selama budaya di Indonesia masih berideologi patriarki, perempuan mustahil untuk dapat “mengawini” dan “menceraikan” laki-laki meskipun perempuan lebih kaya, sangat berkuasa, atau berkedudukan dan berstatus lebih tinggi daripada lelaki.
Daftar Pustaka:
Moon, Yuliana Jetia. "Keragaman Berbahasa Berdasarkan Jenis Kelamin pada Bahasa Manggarai Dialek Ruteng." PROLITERA: Jurnal penelitian pendidikan, bahasa, sastra, dan budaya 1.1 (2018): 64-70.
Amri, Zul. "Perbedaan Bahasa Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan: Sebuah Studi Kasus di Kelas V SDN 09 Air Tawar Barat Padang Sumatera Barat." Lingua Didaktika: Jurnal Bahasa dan Pembelajaran Bahasa 3.1 (2009): 96-110.
“Perempuan dan Bahasanya: Cermin Pengaruh Jenis Kelamin dalam Faktor Pilihan Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya”. badanbahasa.kemdikbud.go.id. 2 April 2021. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/328