Skripsi seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa, banyak faktor yang pada akhirnya memunculkan stigma demikian, mulai dari faktor internal dalam diri yang kurang memahami dan mempersiapkan diri, juga bisa datang dari faktor eksternal, yang berkaitan dengan keluarga dan juga ekonomi.
Akan tetapi ada fenomena unik dan layak dijadikan sebuah urban legend bagi mahasiswa tingkat akhir, yakni ngerjain Skripsi Jalur Patah Hati…
Artikel ini tentu saja tidak akan membahas layaknya teori dalam sebuah materi, tidak juga menekankan pada tips cara cepat mengerjakan skripsi. Karena artikel ini adalah sebuah cerita pengalaman mahasiswi yang beberapa waktu lalu menyelesaikan studi S1 nya melalui jalur patah hati.
Kira kira akan seperti apa ya ceritanya? Simak cerita selengkapnya…
Aku adalah salah seorang mahasiswi, di salah satu universitas negeri di Sulawesi.
Aku mungkin akan memulai ceritanya dengan menanggapi apa yang menjadi persepsi mahasiswa tingkat akhir yang cukup risau pada saat pengerjaan skripsi.
Rata rata persepsi mahasiswa ngerjain skripsi itu adalah suatu hal yang menguras tenaga, sulit, dan terkadang membuat pikiran menjadi stres.
Tapi menurut aku pribadi gak seseram itu ternyata, asalkan kita memang benar-benar berusaha, berjuang dan semangat untuk bisa menggapai target yang ingin dikejar.
Memang sih setiap mahasiswa punya kendala dan masalah tersendiri. Terkadang ada mahasiswa yang semangat ngerjain skripsi, ehhh malah dosen pembimbingnya sulit di temui, killer dsb.
Ada juga mahasiswa yang stuck karena nggak tau mau gimana lagi, udah revisi berkali-kali, tapi tetep aja belum di acc, ada yang terkendala karena masalah pribadi, atau juga mahasiswa yang punya urusan yang lebih penting dibanding dengan ngerjain skripsi.
Apa pun masalahnya semua tergantung dari diri kami, tergantung bagaimana kami memprioritaskan skripsi, dan memfokuskan skripsi sebagai tujuan utama kita saat ini.
Kalau pun ada kendala, yahh berusaha lebih keras, lebih semangat lagi ngerjainnya, jangan patah semangat, jangan tambah malas-malasan, kalau pun emang benar-benar capek, yah gak apa-apa istirahat aja dulu, sampai bener-bener siap untuk ngerjainnya.
Oke kita lanjut, seperti yang aku bilang, bahwa tiap orang punya masalahnya masing-masing, begitupun aku, yang juga punya masalah, sekaligus masalah itu memberikan sebuah antitesis dan hikmah yang luar biasa.
Yap, masalah itu berkaitan dengan perasaan. Hampir setahun yang lalu, aku ikut program PMM (Pertukaran Mahasiswa Merdeka) di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dan dari situlah cerita ini dimulai.
Aku kenalan dengan salah seorang cowok, sebenarnya kami pernah satu sekolah, tepatnya ketika duduk di bangku SMA, kami satu angkatan, cuma memang gak terlalu akrab, karena beda jurusan.
Seperti tren-tren yang terjadi, kami saling mengenal melalui media sosial. Gak ada angin dan gak ada hujan, tiba tiba dia mengirim DM Instagram.
Dari pesan singkat kala itu, berhembus sebuah hubungan pertemanan yang akrab, dia adalah sosok yang bisa dibilang agamis.
Komunikasi kami berjalan lancar, dan obrolan yang tercipta juga nyambung, karena aku menyadari bahwa dia juga sosok yang pintar dan kami sering berdiskusi.
Kemudian seiring berjalannya waktu perasaan mulai hadir mengisi setiap jeda dalam obrolan, kami pun semakin dekat.
Dua bulan berlalu.
Hubungan kami berjalan dengan cukup baik, kami rutin berkomunikasi, walaupun pada saat itu, posisinya aku sudah kembali pulang ke Makassar (setelah mengikuti program PMM).
Hubungan kami semakin intens, kami saling membantu satu sama lain, aku sering membantu mengerjakan tugas kuliahnya, dan proposalnya, karena rencananya beberapa bulan kedepan, ia akan melanjutkan studi di luar negeri.
Dia juga selalu membantu ketika aku sedang dirundung masalah, memberikan solusi beserta wejangan-wejangan positifnya.
Lalu tibalah suatu momen yang mengharuskan dia pulang ke Makassar, untuk menemui orangtuanya, karena jadwal dia untuk melanjutkan studi di luar negeri sudah ada. Waktu itu dia hanya punya waktu 2 minggu di Makassar, sebelum nantinya mesti kembali ke Jakarta, mengurus segala berkas-berkas yang dibutuhkan.
Kami pun janjian untuk saling bertemu, ditengah waktu yang sangat sempit. Namun ternyata di luar dugaan, karena jadwal tiket pesawatnya bersamaan dengan jadwal aku ke lokasi KKN.
Agak kecewa memang, tapi masih ada sedikit waktu, karena aku berangkat malam, sementara ia berangkat pagi. Aku mengantarnya menuju bandara. "Rasa sedih waktu itu turut bercampur dengan bahagia"
Bandara menjadi tempat pertemuan terakhir kami, kami sama-sama berkomitmen, dan rencananya setelah aku lulus kuliah, kami sepakat untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, dan telah menyusun rencana kedepannya mau gimana.
Selepas itu hubungan kami dilanjutkan dengan LDR (Long-Distance Relationship), sejumlah masalah mulai bermunculan, aku yang sedang menjalani KKN, nampaknya terlalu sibuk, karena program yang disusun begitu padat.
Mungkin juga muncul sebuah anggapan bahwa kondisi aku yang terlalu sibuk, memberikan konsekuensi waktu, yakni menjadi minim menghubunginya. Ia juga menjadi pribadi yang over protective, dan posesif.
Dan dari situlah kerenggangan dalam suatu hubungan tercipta, dan mungkin tanpa sepengetahuan aku dia memiliki perempuan lain, walaupun aku berharap ini hanyalah sebuah kecurigaan belaka, kami pun memutuskan untuk break.
Beberapa hari setelah break nampaknya tidak menemukan hasil.
Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubunginya untuk meminta kejelasan Bagaimana kedepannya... Dan ternyata memang hubungan kami tidak bisa dilanjutkan, karena salah seorang gurunya, tidak merestui hubungan aku dan dia.
Aku juga sempat beranggapan, "Mungkin semua karena aku bukan keturunan keluarga yang benar-benar paham agama." Tentu itu hanya asumsi sih, akan tetapi yang jelas dia juga bilang gamau dekat dengan perempuan, dan ingin fokus memperbaiki diri.
Dan mau tidak mau dengan adanya kondisi itu kami sama-sama memutuskan untuk tidak berkomunikasi, kami berpisah dengan baik, karena memang keadaan yang pada akhirnya memaksa demikian.
Namun aku masih terus memegang janjinya, kalau dia akan kembali ketika urusannya sudah selesai, makanya aku gak ada niatan untuk dekat lagi dengan orang lain.
"Perkataan terkadang begitu manis, sampai banyak orang rela menelan ludahnya sendiri"
Sebulan setelahnya, ketika program KKN yang kujalani selesai, datang sebuah kabar dari seorang teman yang mengatakan bahwa “dia” orang yang dulu pernah berjanji kini memiliki pasangan baru dan sering posting di halaman instagramnya.
Tentu saja kabar itu datang membawa sayatan rasa kecewa yang menggoreskan luka, perkataannya dulu yang mengatakan ingin memperbaiki diri, dan tidak ingin dekat dengan perempuan lain, itu tak lebih dari sekedar omong kosong.
Nyatanya ia memiliki pasangan baru, dan dengan bangganya menunjukan kebanyak orang melalui postingan instagramnya.
Hal itu membuat aku down, dan jatuh sakit selama satu minggu, aku di diagnosa mengalami gejala tyfus, beruntung saat itu ada seorang teman indekos yang menemani dan merawat. Ternyata kondisi fisik dan perasaan tidak kunjung membaik, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah.
Mungkin akan banyak yang bilang berlebihan jika aku mengatakan bahwa efek kesedihan itu berlangsung selama 2 bulan lamanya.
Entah berapa banyak air mata yang jatuh, dan kondisi ini juga yang pada akhirnya menjadikanku tidak produktif dalam mengerjakan penelitian skripsi.
Aku berfikir bahwa aku tidak boleh begini terus dan mulai introspeksi diri, lebih menghargai diri sendiri dan memutuskan unuk melupakan dan juga mengikhlaskan itu semua.
Lagipula sudah banyak teman-teman kuliah yang telah menyelesaikan skripsinya, bahkan sudah wisuda juga, dan hal inilah yang membuat aku berfikir untuk tidak boleh berlarut dalam kesedihan, apalagi hanya menyangkut soal hati.
"Lemah dan cengeng banget wkwkw. Masih ada yang perlu aku kejar, dan ku prioritaskan."
Perlahan aku mulai produktif lagi. Setiap malam kadang aku nangis-nangis ngerjain skripsi, mencoba untuk nguatin diri sendiri.
Setiap harinya ngerjain skripsi adalah sebuah prioritas di indekos. Ketimbang berleha-leha, atau pun keluyuran gak jelas.
Bahkan aku sampai tidak percaya bahwa 2 bulan waktu produktif mengerjakan skripsi bisa mengantarkan aku untuk sidang. Mulai dari penelitian, seminar hasil, sampai sidang ternyata aku mampu buat lewatin ini tanpa bantuan orang lain, dan hal ini juga yang membuatku appreciate terhadap diri, karena berhasil melewati drama kehidupan yang terjadi.
Dan Alhamdulillah, aku bisa lulus tetap waktu dengan predikat cumlaude, dengan IPK yang sangat memuaskan.
Saran aku buat mahasiswa pejuang skripsi, pastikan bahwa hal-hal yang memiliki potensi menghambat pengerjaan skripsi, jauhkan dari diri,
“sibuk ngebucin dan skripsinya justru gak pernah dikerjain"
Padahal semua akan indah pada waktunya.
Demikian cerita pengalaman kali ini, semoga bisa menjadi pembelajaran bagi para pembaca, khususnya mahasiswa tingkat akhir. Bila kalian memiliki cerita menarik yang ingin dibagikan, silakan kirim melalui email dengan mengakses halaman kontak.
Cerita pengalaman ini nantinya akan disadur ke dalam bentuk karya fiksi