Desa Kalidoso yang terletak sepuluh kilometer dari jalan raya antara Solo dan Purwodadi itu bagaikan sebuah oase yang cukup luas. Sekelilingnya adalah perbukitan kapur yang tandus, tetapi subur bagi pohon jati, sehingga desa itu dilingkari oleh hutan jati.
Seperti oase, karena hanya desa itulah yang rimbun dengan berbagai tanaman tahunan, terutama buah-buahan seperti mangga, jambu, nangka, belimbing, dan paling banyak tumbuh pohon melinjo yang menjadi bahan baku kerajinan emping melinjo di daerah itu.
Oase atau disebut juga oasis merujuk pada kondisi suatu daerah yang subur dan terpencil yang berada di tengah gurun, umumnya mengelilingi suatu mata air atau sumber air lainnya dan memiliki beberapa pepohonan disekitarnya.
Foto: Jessica Wong - Unsplash |
Rumput pun bisa tumbuh di daerah itu sehingga penduduknya bisa memelihara sapi dan kambing. Berbeda dengan desa-desa lain di sekitarnya, yang penduduknya beragama Islam santri, desa Kalidoso itu berpenduduk abangan dan masih percaya pada adanya roh yang menghuni benda-benda.
Namun, di antara penduduk desa ini terdapat pula pemeluk Islam yang taat, bahkan bisa dibilang fanatik.
Walaupun demikian, tak sebuah masjid atau langgar pun telah didirikan di desa yang terkebelakang perkembangan agamanya itu. Kaum santri Solo yang telah maju menyebut penduduk desa itu sebagai mengidap penyakit TBC, singkatan dari takhayul, bidah, dan khurafat.
Di desa itu terdapat pula sebuah kebun buah-buahan milik desa. Di pinggiran pohon-pohon itu tumbuh sebuah pohon trembesi besar yang telah tua, barangkali ratusan tahun umurnya dan karena itu sangat rimbun.
Saking besarnya, pohon itu dipercaya sebagai angker yang dihuni oleh roh-roh. Hanya saja tanah di bawah pohon itu sering kotor karena daun-daun yang gugur dan karena itu setiap kali perlu dibersihkan. Di dekat pohon itu terdapat mata air yang jernih airnya sehingga dipakai oleh penduduk sebagai air minum.
Pemerintah desa telah membuat sebuah kolam sederhana yang menampung air itu dan penduduk desa bebas mengambilnya. Bahkan, di dekat kolam air itu didirikan kamar mandi dan kakus sederhana tak beratap, terbuat hanya dari anyaman batang bambu dan kayu.
Tetapi, para perempuan suka mandi langsung di dekat kolam itu dengan hanya mengenakan kain saja sehingga merupakan pemandangan menarik bagi lelaki.
Pagi dan sore selalu ramai dengan orang mandi. Biasanya perempuan lebih awal mandinya ketika pagi masih agak gelap. Baru agak siangnya datang para lelaki untuk mandi.
Guna menjaga tempat mandi, cuci, dan kakus, pak Lurah Samidjo menugaskan Partorejo, seorang yang berusia setengah baya. Untuk praktisnya, Pak Parto, demikian panggilan akrabnya, dan keluarganya ditugasi pula menjaga kebun itu.
Sebagai penjaga kebun, ia atas nama kepala desa melarang penduduk untuk memetik buah sendiri. Setiap akhir musim buah dilakukan panen. Buah-buahan hasil panen itu dijual dan hasilnya masuk kas desa dan dibelanjakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk desa.
Ketika telah berumur empat puluh tahunan, Parto melakukan kegiatan yang mengundang perhatian seluruh penduduk desa. Ia setiap malam melakukan semadi atau bertapa, dengan cara duduk bersimpuh di antara dua batu besar yang menonjol di bawah pohon itu, walaupun agak jauh dari batangnya.
Pada waktu siang, setelah memeriksa dan membersihkan kebun, yang dibantu oleh istrinya, Pak Parto melakukan praktik pijat. Rupanya ia pernah belajar pijat-memijat pada seorang tukang pijat terkenal di daerah hutan jati antara Purwodadi dan Pati yang terkenal dengan kegiatan kebatinan dan perdukunannya itu.
Rupanya kegiatan pijat yang dilakukan di atas tikar pandan di bawah pohon trembesi yang rindang sejuk dan nyaman itu makin ramai. Istrinya ikut pula memijat. Banyak orang dengan berbagai penyakit meminta terapi pada Parto.
Mungkin untuk memberi sugesti kepada langganan pijatnya, ia selalu memberikan sebotol kecil air yang diambil dari mata air itu setelah diberi mantra olehnya.
Inilah yang menyebabkan maka Parto akhirnya disebut sebagai dukun, dan ia tidak keberatan dengan sebutan magis itu. Tentu saja dengan mengatakan bahwa air dari mata air itu berkhasiat tinggi, bukan sembarang air.
Namun dengan tidak diketahui dari mana asal-usulnya, penduduk desa mulai memberikan sesajen yang diletakkan di sekeliling pohon trembesi itu. Asal-usulnya mungkin dari kegiatan bertapa yang dilakukan oleh Pak Parto di bawah pohon itu dan ucapan yang pernah terdengar dari mulut Parto bahwa pohon besar itu ada penjaganya yang disebut orang Jawa sebagai Sing mBau Rekso, yaitu Sang Penjaga.
Penduduk desa harus ramah kepada Sing mBau Rekso agar desa itu diberkati, dengan menyediakan sesajen kepada raja pohon di antara pohon-pohon di daerah itu. Parto sendiri sering mengajarkan kepada penduduk desa agar mereka memelihara pohon trembesi dan pohon-pohon yang lain di desa itu. Pohon dianggap sebagai makhluk hidup juga dan karena itu mereka harus berteman dengan sesama makhluk hidup.
Gejala itulah yang menggelisahkan batin seorang ustad yang dipandang paling ahli agama di desa itu.
“Itu syrik. Dan syrik adalah dosa yang paling besar di hadapan Allah.” kata Kyai Fauzan Saleh.
“Tapi Kyai, orang-orang desa sulit diberi tahu. Mereka percaya kepada dukun Parto itu. Apalagi ia sering dianggap telah banyak menolong orang sakit dengan pijat dan jampi-jampinya.”
“Kalau orang sakit itu perginya ke puskesmas, bukan ke dukun syrik.” kata Kyai Fauzan, orang yang memang dikenal punya pengetahuan luas.
“Di sini kan belum ada puskesmas pak Kyai. Tak mungkin desa ini mendapat proyek puskesmas sebelum penduduk di sini meninggalkan partai yang tidak berkuasa dan masuk partai yang berkuasa saat ini.”
Desa di daerah perbukitan kapur ini dulu memang dikenal sebagai basis PKI. Bahkan pada masa pemberontakan PKI-Madiun, penduduk di sini banyak yang terlibat dalam gerakan komunis dan ikut dalam pembunuhan kaum santri dan pejabat pemerintahan.
“Wah, bagaimana caranya memberantas takhayul, bidah, dan khurafat di sini?” tanya Kyai Fauzan kepada rekan bicaranya, yang dikenal kaya karena bekerja sebagai pemborong jalan dan bangunan di daerah-daerah lain yang banyak proyeknya.
Pak Thohir, demikian nama pemborong itu, diam termenung cukup lama tak memberikan jawaban. Tapi akhirnya ia keluar dengan sebuah usul.
“Cara memberantas TBC satu-satunya adalah menebang pohon trembesi itu. Kalau tak ada pohon yang dianggap keramat, si Parto itu tak akan melanjutkan praktik perdukunannya.” kata Thohir dengan nada ketus.
“Tapi, apa alasannya menebang pohon itu? Kita akan melawan si Parto dan pengikut-pengikutnya.”
“Begini Pak Kyai, saya kan kenal dengan Sekda dan orang-orang DPRD dari partai yang berkuasa. Saya akan katakan kepada mereka agar penduduk desa mau mencoblos partai itu, rakyat harus dibuat simpati dulu,” kata Thohir menjelaskan usulnya.
“Bagaimana menarik simpati penduduk desa?” tanya Kyai Fauzan ingin tahu.
“Saya akan mengusulkan proyek terpadu pembangunan prasarana desa. Pertama, masjid. Kedua, MCK menggantikan kolam yang sekarang. Di situ akan kita pasang pompa Sanyo menggantikan mata air. Kemudian jangan lupa puskesmas agar orang tak lagi datang ke dukun.” jelas Thohir lebih lanjut.
“Lalu apa hubungannya dengan pohon itu?” tanya Kyai Fauzan kurang tahu.
“Pohon itu kita tebang ramai-ramai. Di atasnya persis kita dirikan masjid. Kemusyrikan dan TBC kita ganti dengan tauhid yang semurni-murninya.” jawab Thohir memakai bahasa santri.
Kyai Fauzan pun tersenyum mengangguk-angguk tanda setuju dengan gagasan cemerlang itu. “Jaal khaqqo wa zahaqol baatil. Innal Batila kaan zahuko.” kata Kyai Fauzon menirukan seruan kaum Muslim di Mekah ketika menghancurlan berhala-berhala di sekitar Ka’bah, yang artinya “telah datang Kebenaran dan jika datang Kebenaran maka hancurlah kebathilan”. Tapi Thohir masih menambah keterangan: “Tapi masih ada tugas kita semua sekarang ini.”
“Apa tugas itu?” tanya Kyai Fauzan lagi.
“Kita harus berdakwah untuk menyerukan penghancuran TBC dengan menumbangkan sumber TBC itu sendiri. Pohon trembesi terkutuk itu. Pak Kyai yang memimpin dakwah itu. Sedangkan saya mengusahakan proyek itu. Saya sendiri yang akan membangun prasarana desa itu?” kata Thohir penuh percaya diri.
Kesepakatan pun tercapai antara ulama dan pemborong itu untuk melaksanakan proyek yang mulia itu. Keduanya pun melaksanakan tugasnya masing-masing. Keduanya juga bersama-sama menemui Pak Lurah dan kemudian Pak Camat mengutarakan usul mereka.
Karena proyek itu menyangkut pembangunan desa dan mencakup pembangunan fisik maupun rohani, maka dengan tidak sulit kedua tokoh desa itu bisa diyakinkan.
Rencana itu pun terdengar oleh Parto dan pengikut-pengikutnya. Mereka pun marah, namun sulit menolak gagasan pembangunan yang telah disetujui oleh Pak Lurah dan Pak Camat.
Parto berkata kepada para pengikutnya, “Pohon kita itu adalah pohon keramat yang memberi berkah kepada penduduk desa. Jika pohon itu ditebang, maka Sing mBau Rekso akan marah besar,” kata Parto keras sebagai seorang yang dianggap suci karena pertapaannya dan perannya sebagai dukun yang terkenal sampai ke desa-desa lain itu.
“Bagaimana marahnya Pak?” tanya orang desa tak mengetahui bagaimana caranya roh marah itu.
“Wah saya juga tidak tahu. Tapi pokoknya penduduk desa ini akan ditimpa bencana. Tanah longsor mungkin gempa bumi, penyakit menular, atau kelaparan.”
Penduduk desa cukup ketakutan mendengar peringatan Parto yang berapi-api itu.
Kyai Fauzan yang mendengar aksi penolakan itu menjawab, “Lagi-lagi takhayul. Justru TBC itulah yang bisa menimbulkan bencana karena menyimpang dari akidah. Dengan kembali kepada yang benar, al ruju’ ilal haq, kita pasti akan mendapatkan rahmat dan pengampunan,” tangkis Kyai Fauzan.
Dua pandangan itu tentu membuat penduduk kebingungan. Mana yang akan diikuti? Tapi yang jelas, mereka tidak bisa berbuat apa-apa melawan rencana pemerintah desa yang disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Sragen itu.
Maka hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pemborong Thohir berhasil memperoleh proyek pembangunan prasarana. Pada suatu hari Jumat, datanglah penduduk desa yang diikuti dengan penduduk dari daerah lain, ramai-ramai menebang pohon trembesi raksasa itu sambil meneriakkan “Allahu Akbar”. Mereka merasa telah menumbangkan kebatilan.
Dengan rubuhnya pohon itu dan akar-akarnya pun dicabut dan dibawa dengan sebuah truk oleh pemborong. Pemborong Thohir pada gilirannya melaksanakan tugasnya, mula-mula membangun masjid, kemudian MCK, dan gedung puskesmas.
Masjid didirikan persis di atas tempat yang dulu ditumbuhi pohon trembesi itu. Dalam tempo hanya enam bulan, seluruh bangunan itu selesai. Walaupun sebagian penduduk yang abangan protes, penduduk desa Kalidoso itu tak bisa berbuat apa-apa. Tapi kesedihan mereka seolah-olah tersiram oleh air yang deras memencar dari pompa Sanyo.
Mula-mula kebutuhan air tiga bangunan itu terpenuhi tanpa masalah. Kemarahan Sing mBau Rekso yang dikatakan oleh Parto tidak terbukti datang. Parto sendiri agar tidak marah tetap diberi tugas oleh Pak Lurah untuk menjaga tiga bangunan itu, terutama bangunan masjid.
Tugas itu pun dijalankan oleh Parto. Hanya saja ia berhenti bertapa dan menjadi dukun. Kyai Fauzan mengajarinya sholat sehingga ia berubah menjadi santri yang taat sholat di masjid.
Setahun kemudian, timbul suatu gejala yang aneh. Air yang dinaikkan dengan pompa Sanyo itu tak mengalir lagi. Bak penampung air kosong dan ketiga bangunan itu kekurangan air.
Tapi yang lebih menyedihkan adalah bahwa penduduk desa tidak lagi bisa menikmati mata air yang dulu pernah memancar dari bawah pohon keramat itu.
Apakah itu bencana yang dulu pernah diingatkan oleh dukun Parto? Penduduk desa tidak menghubungkan gejala baru itu dengan peringatan Partorejo. Bahkan hal itu pun juga tidak terpikirkan oleh Parto sendiri.
Tidak saja air tidak lagi mengalir, yang lebih mengherankan penduduk desa adalah tiga bangunan itu, terutama masjid mulai retak-retak. Mungkin suatu hari masjid itu bisa runtuh sebab di dekat MCK sudah terjadi tanah longsor karena air hujan yang cukup deras sudah tidak ada yang menahan sehingga menimbulkan erosi.
Guna menahan kemarahan Sing mBau Rekso, penduduk tidak lagi bisa memberikan sesajen kepada pohon keramat yang sudah hilang dari muka bumi itu.
Beberapa orang desa datang kepada Partorejo yang sudah jadi santri itu dan bertanya:
“Pak, apakah ini semua tanda-tanda kemarahan Sing mBau Rekso?” tanya mereka benar-benar ingin tahu.
“Wah jangan tanya soal ini kepada saya. Tanya saja pada Pak Kyai Fauzan.” jawab Parto. Maka mereka pun datang kepada Kyai Fauzan
“Pak Kyai, bukankah masjid kita ini dibangun atas dasar taqwa?” tanya mereka.
“Ya betul, memangnya kenapa?” tanya balik sang kyai.
“Tapi kok masjid kita itu terak-retak dan sebentar lagi bisa rubuh?” tanya mereka lebih lanjut.
“Waduh, bangunan rubuh bukan soal agama,” jawab Kyai Fauzan. “Tanya saja pada Pak Thohir yang membangun semua ini. Mungkin semennya dikurangi atau pondasinya kurang kuat.” Ketika pada gilirannya penduduk menanyakan hal itu pada Thohir, pemborong itu merasa tersinggung.
“Lho kok malah saya yang dituduh korupsi. Tanya saja pada pak insinyur, apakah ia mengurangi jatah semennya?” Tapi insinyur yang dimaksud tinggal di kota sehingga pertanyaan itu dijawab sendiri oleh pemborong Thohir seolah-olah mewakili insinyur dimaksud.
“Jangan menuduh atau menghina saya tidak becus membangun ya. Mungkin saja roh-roh jahat telah menyabot bangunan saya.” jawabnya sambil tertawa keras. Penduduk hanya bengong saja mendengar jawaban-jawaban yang mereka terima. Kenyataannya, bencana memang sedang mengancam setelah pohon keramat itu ditebang.
Jakarta, 13 Februari 2005